Cerita Petugas: Ketika Tugas Membawaku ke Kakbah

redaksi
0
Pewarta yang tergabung dalam Media Center Haji, bertugas juga beribadah di taah suci. Foto Miftahul Arief/MCH2024

Menjadi petugas haji adalah impian banyak muslim. Bagi yang berkesempatan menjalaninya, pengalaman ini kerap meninggalkan jejak spiritual yang mendalam. Berikut sepenggal kisah salah satu petugas haji yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) 2024, Chandra Iswinarno (Jurnalis Suara.com)

BeritaHaji.id - "Mas, ini kayak mimpi ya?"

Kalimat singkat dan berkesan itu masih terngiang di telinga saya hingga saat ini dari Yuniar, pewarta dari Radio Elshinta Semarang. Ucapan itu terlontar dari Yuniar, ketika berpapasan menuju mess penginapan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.

Kala itu, kami masih mengikuti bimbingan teknis untuk menjadi petugas haji di Arab Saudi. Bagi saya menjadi petugas haji, pun kemudian bisa menunaikan ibadah haji, memang tidak pernah terbersit dalam pikiran.

Mimpi menjalani rukun Islam kelima, yang entah kapan bisa terwujud ini, ternyata benar-benar menjadi kenyataan. Pikiran pun mulai bercampur aduk, antara senang, sedih hingga bingung. Maklum saja, saya bukan orang yang memiliki pengetahuan agama mumpuni dibandingkan teman-teman lain.

Sejujurnya, yang ada dalam benak hanya menjalani tugas dengan baik dan melayani jemaah haji agar bisa kembali selamat ke tanah air.

Tak hanya itu, banyak orang di sekitar saya yang juga terkejut lantaran bisa pergi ke Tanah Suci lewat 'jalur tol', kalau boleh diistilahkan secara awam. Sebagai pekerja media, tentunya amanah ini menjadi tantangan sekaligus beban berat. Musababnya, banyak pertanyaan yang datang mengenai kemungkinan bisa berhaji sekaligus bertugas hingga keabsahan menjalani semua rukun haji.

Bagi orang awam seperti saya, segudang pertanyaan itu tentunya membuat keraguan mendalam. Beruntung, kalau kata orang Indonesia, saya mendapat secercah pencerahan dari teman-teman yang pernah bertugas dan tentunya juga dari pihak Kementerian Agama yang menjelaskan sejumlah pertanyaan paling mendasar mengenai hal-hal yang selama ini berat untuk saya ungkapkan mengenai ibadah haji.

Akhirnya, perjalanan besar itu benar-benar dilakoni. Kamis, 8 Mei 2024 pagi dan mungkin akan menjadi waktu kenangan tidak bisa dilupakan petugas haji yang bertugas di daerah kerja (Daker) Bandara dan Madinah, untuk menjalankan misi melayani Jemaah haji.

Le Grand Voyage


Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menjelang siang ramai dengan petugas berrompi hitam bertuliskan petugas haji Indonesia. Sedari pagi tiba di Terminal 3 Internasional, tak henti-hentinya kami bercengkerama dengan gadget untuk sekedar bertukar kabar atau meminta doa menjalani misi yang menyatukan tujuan menjadi petugas haji.

Lalu lalang pesawat berbadan lebar dari landasan pacu penerbangan internasional yang terlihat dari ruang tunggu pemberangkatan menjadi pemandangan baru bagi saya.

Sekali waktu, sambil menikmati hilir mudik datang dan perginya pesawat, saya teringat satu film Perancis yang menceritakan perjalanan menuju tanah suci, Le Grand Voyage. Film yang diproduksi tahun 2004 silam menjadi salah satu tontonan favorit kala itu. Bercerita tentang ayah dan anak melakukan 'perjalanan besar' dari Perancis menuju Tanah Suci untuk berhaji menggunakan mobil.

Saya mengingat film itu dengan perjalanan yang akan dilalui sebagai petugas haji. Sebuah perjalanan besar bagi hidup saya, yang diharapkan menjadi fase introspeksi kehidupan. Terdengar muluk-muluk, tapi setidaknya saya menyesapinya sambil merenung masih pantas kah saya bertamu ke 'Rumah Allah?'

***

Saat yang dinanti tiba. Pesawat Garuda Indonesia, nomor penerbangan GIA 980, yang membawa kami menuju Bandara King Abdul Aziz Kota Jeddah mendarat mulus kala Ashar waktu Saudi.

Semua petugas bergegas memasuki paviliun berganti pakaian menggunakan pakaian ihram untuk menunaikan umrah wajib. Suasana begitu cair, semua saling mengingatkan untuk mengucap niat atau sekedar salat sunah sebelum melakukan ibadah.

Jelang matahari terbenam, selepas Maghrib, bus yang kami tumpangi melaju sempurna menuju Kota Mekkah. Kota yang selalu dirindukan Umat Islam seluruh dunia untuk berserah kepada-NYA. Komandan tim kami, Mawardi seketika itu menjadi guide dadakan. Tak hanya menjadi guide, Mawardi, yang biasa kami sapa Bang Mawar, juga berulang mengingatkan untuk menyantap Al Baik yang mengenyangkan.

Sekilas tentang Al Baik. Menyantap Al Baik menjadi perkenalan awal saya dengan makanan Arab Saudi yang ternyata sangat populer. Meski bukan kuliner khas Saudi, namun Al Baik memang baik bagi saya dan enak. Ini bukan ngiklan ya.

Perjalanan menuju Mekkah membuat saya terkagum. Sesekali saya berdoa, lebih sering mengumandangkan kalimat Talbiyah, sambil melihat jalan-jalan besar tanpa kemacetan. Gegar budaya, saya merasakan hal itu.

Banyak sekali kendaraan yang tidak pernah saya lihat di Indonesia, mengaspal di jalanan layaknya tol. Terkadang, saya berpikir mengawang-ngawang "Ini kayak jalan Tol Cipali, ya."

Perjalanan melelahkan kurang lebih 1,5 jam itu akhirnya berakhir di sebuah penginapan berlantai belasan, tempat kami transit sebentar sebelum menuju Madinah. Sekira dua jam kami beristirahat sekedar melepas lelah dan jetlag, akhirnya dimulai perjalanan ibadah kami kali pertama menuju Baitullah, tempat Ibrahim menyerukan untuk kali pertamanya kalimat Talbiyah memanggil Umat Muslim untuk berhaji.

Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di Terminal Syib Amir untuk segera melanjutkan dengan berjalan kaki menuju Masjid Al Haram yang berjarak sekira 1 kilometer.

Sepanjang perjalanan pun saya teringat Pasar Tanah Abang, ramai dan penuh pedagang mengemper di kiri-kanan jalan menjajakan berbagai macam rupa tanda mata. Cuaca di Mekkah memang menjadi tantangan saat berjalan meski di malam hari. ‘Panas yang tidak biasa,’ kata saya dalam hati.

Akhirnya, Masjid Al Haram nampak megah berdiri dengan segala kebaruannya. Tower-tower krane menjadi penanda pembangunan area masjid masih terus bekerja. Tak lupa Menara Zamzam nan kokoh menjadi pemandangan dari kejauhan, bahkan sejak memasuki Kota Mekkah.

Bangunan persegi berwarna hitam, nampak jelas di depan mata. "Ini bukan mimpi kan?" saya bertanya di dalam hati.

Sesaat kemudian, semua perasaan luruh. Keharuan menyesak di dada, tak terasa air mata mengalir pelan membasahi pipi seraya berdoa tak henti-henti. Inilah kali pertama saya melihat Kakbah yang menjadi kiblat Umat Muslim seluruh dunia menguntai doa, menjadi arah pemersatu ibadah wajib lima kali sehari.

Tak henti-hentinya, kekaguman akan kebesaran Allah terucap dalam lirih yang mengguncang hati. Perasaan melankholis merambat pelan, seolah diingatkan tentang masa silam yang penuh dengan kesalahan yang diperbuat, teringat almarhum bapak yang lebih dulu dipanggil Allah, raut wajah ibu yang kini sudah menginjak usia senja. Semua kenangan itu tak terasa menyeruak dalam dada meruntuhkan ego manusia yang tak pernah puas dan khilaf dalam kenikmatan yang telah diberikan Sang Illah.

Malam itu, sepulang dari Kakbah sebuah perenungan dan lelah bercampur. Alhamdulillah, ibadah pembuka bagi kami telah tuntas, sebelum melakukan ibadah-ibadah yang lain saat menjadi petugas haji.

*Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Mengukir Senyum di Haramain terbitan Biro HDI Kemenag.
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top